Bulan Ramadlan adalah bulan yang penuh berkah, bulan yang diturunkan padanya Al Qur’an, bulan yang terdapat padanya malam yang lebih baik dari seribu bulan, dan setiap malamnya Allah Ta’ala memerdekakan hamba-hambaNya dari api Neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ مَرَدَةُ الْجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجِنَّانِ فَلَمْ يُغْلَقُ مِنْهَا بَابٌ ، وَنَادَى مُنَادٍ : يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلُّ لَيْلَةٍ.
Kewajiban setiap muslim adalah berlomba-lomba mencari keberkahan bulan ini dengan banyak beramal shalih, agar kita termasuk orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah dari api Neraka. Sungguh sangat merugi orang yang keluar dari bulan Ramadlan dalam keadaan tidak mendapat ampunan Allah Ta’ala. Jabir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَقِىَ الْمِنْبَرَ فَلَمَّا رَقِىَ الدَّرَجَةَ الْأُولَى قَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّانِيَةَ فَقَالَ آمِيْنَ ثُمَّ رَقِىَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ آمِيْنَ فَقَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْنَاكَ تَقُوْلُ آمِيْنَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَالَ لَمَّا رَقِيْتُ الدَّرَجَةَ الأُولَى جَاءَنِي جِبْرِيْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ فَقُلْتُ آمِيْنَ ثُمَّ قَالَ شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ فَقُلْتُ آمِيْنَ.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam menaiki mimbar, ketika beliau menaiki tangga yang pertama beliau bersabda, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga kedua beliau berucap, “Aamiin.” Ketika menaiki tangga yang ketiga beliau berucap, “Aamiin.” Para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Aamiin tiga kali.” Beliau bersabda, “Ketika aku menaiki tangga yang pertama, Jibril ‘alaihissalam datang kepadaku dan berkata, “Celaka hamba yang mendapati bulan ramadlan, setelah lepas darinya ternyata ia tidak diampuni dosa-dosanya.” Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya namun tidak memasukkannya ke dalam surga. Akupun mengucapkan Aamiin. Kemudian ia berkata, “Celaka hamba yang disebutkan namamu di sisinya tetapi ia tidak bershalawat untukmu. Akupun mengucapkan Aamiin. (HR Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad[1]).
Setiap kita pasti tidak rela bila terkena do’a tersebut, maka tiada jalan kecuali bersungguh-sungguh menjalani ramadlan dengan banyak beramal shalih.
AMALAN-AMALAN DI BULAN RAMADLAN
Adapun amalan yang dapat kita lakukan di bulan Ramadlan adalah:
1. Shaum Ramadlan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang berpuasa ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim).Shoum adalah ibadah yang agung di sisi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amal anak Adam dilipat gandakan; satu kebaikan ditulis sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali shoum karena ia untukKu, dan Aku yang akan membalasnya; ia meninggalkan syahwat dan makanannya karenaKu.” Orang yang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya. Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari minyak kesturi.” (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim).Pada hari kiamat, shoum akan datang memberikan syafa’at kepada pelakunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Shiyam dan al Qur’an akan memberikan syafa’at kepada hamba pada hari kiamat. Shiyam berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya dari makanan dan syahwatnya di waktu siang maka beri aku syafa’at untuknya. Al Qur’an berkata,”Ya Rabb, aku telah mencegahnya tidur di waktu malam, beri aku syafa’at untuknya.” (HR Ahmad).[2]Bahkan, orang yang berpuasa akan disediakan pintu khusus ke surga, pintu itu bernama Royyan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَد
“Sesungguhnya surga mempunyai pintu yang bernama Ar Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak selain mereka yang memasukkinya. Akan dikatakan,”Dimana orang-orang yang berpuasa? Merekapun dari pintu tersebut. Apabila semuanya telah masuk, akan dikunci dan tidak ada yang memasukkinya seorangpun.” (HR Bukhari dan Muslim).Namun, berapa banyak orang yang berpuasa akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali menahan haus dan lapar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya menahan lapar dan dahaga saja.” (HR Ibnu Majah).[3]Hal itu terjadi karena ia tidak berpuasa dari apa yang Allah haramkan, ia seakan menganggap bahwa puasa itu hanya menahan diri dari pembatal-pembatal puasa saja, dalam hadits:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah tidak butuh kepada puasanya.” (HR Bukhari).[4]Karena hakikat shaoum adalah menahan dari dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرْبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَث
“Bukanlah shoum itu sebatas menahan diri dari makanan dan minuman, akan tetapi shoum adalah menjauhi perkara yang sia-sia dan kata-kata kotor.” (HR Ibnu Khuzaimah).[5]Syarat dan Rukun puasa.
Adapun rukun puasa ada dua, pertama adalah niat dan kedua adalah menahan diri dari semua perkara yang membatalkan puasa seperti makan dan minum dengan sengaja, jima’ di siang hari, haidl dan nifas, muntah dengan sengaja dan murtad dari agama islam. Kaidah yang hendaknya kita ketahui adalah bahwa tidak boleh kita mengklaim bahwa sesuatu itu membatalkan puasa kecuali dengan dalil syari’at yang shahih. Barang siapa yang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dengan sengaja maka tidak bermanfaat baginya qodlo, kewajiban ia adalah bertaubat kepada Allah. Sedangkan bila ia melakukannya karena udzur maka hendaklah ia mengqodlo.
Adapun syarat-syarat wajibnya puasa ada enam yaitu: Muslim, baligh, berakal, mempunyai kemampuan untuk berpuasa, muqim tidak safar, dan tidak haidl dan nifas.
2. Qiyam ramadlan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخاري ومسلم
Dari abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang qiyamulail di bulan ramadlan karena iman dan berharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan muslim).Qiyam Ramadlan adalah ibadah yang berpahala besar yang senantiasa dirutinkan oleh para shahabat dan generasi setelahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya secara berjama’ah selama tiga malam, lalu beliau tinggalkan karena khawatir di wajibkan atas umatnya. Imam Abdurrazzaq meriwayatkan dalam mushannafnya (2/264 no 7746) dengan sanad yang shahih kepada Aisyah rdliyallahu ‘anha, ia berkata:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لَيْلَةً فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَاجْتَمَعَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ أَكْثَرَ مِنَ الْأُوْلَى فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةَ أَوْ الرَّابِعَةَ امْتَلَأَ الْمَسْجِدُ حَتَّى غَصَّ بِأَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَجَعَلَ النَّاسُ يُنَادُوْنَهُ الصَّلَاةَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مَا زَالَ النَّاسُ يَنْتَظِرُوْنَكَ الْبَارِحَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ أَمَا أَنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ أَمْرُهُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِمْ.
“Suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan di masjid bersama beberapa orang. Di malam kedua beliau kembali shalat, dan orang-orang yang ikut shalat lebih banyak dari malam pertama. Ketika di malam ketiga atau keempat, masjid menjadi penuh sampai-sampai beliau masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar. Maka orang-orang memanggil beliau, “Shalat !” Di pagi harinya, Umar bin Al Khathab berkata, “Tadi malam orang-orang menunggumu hai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Perbuatan mereka tidak tersembunyi bagiku, akan tetapi aku khawatir di wajibkan atas mereka.”Dan dalam hadits Abu Dzarr, beliau berkata:
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ
“Kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak sholat malam (berjama’ah) dengan kami sampai tersisa tujuh hari dari bulan Ramadlan. Maka beliau qiyam (pada malam 23) bersama kami hingga lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak qiyam dengan kami pada enam hari tersisa, dan kembali qiyam dengan kami pada lima hari tersisa (malam 25) hingga lewat tengah malam. Lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana bila sisa malam ini kita gunakan untuk shalat sunnah ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang sholat bersama imam sampai selesai, maka dituliskan untuknya sholat semalam suntuk”.Kemudian beliau tidak qiyam bersama kami sampai tersisa tiga hari bulan Ramadlan, beliau memanggil istri-istrinya dan keluarganya, beliau pun qiyam dengan kami (di malam 27) hingga kami khawatir tidak sempat melakukan al falah. Aku berkata: “Apa itu al Falah ?” ia berkata: “Sahur”. (HR At Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, ibnu Khuzaimah dan lainnya. At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”.)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa orang yang qiyam bersama imam sampai selesai, dituliskan untuknya shalat semalam suntuk. Ini adalah keutamaan yang besar bagi orang yang melakukannya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah dan para shahabat melakukan shalat tarawih di awal malam, bukan di akhir malam dan itulah waktu yang paling utama untuk shalat tarawih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qiyam ramadlan secara berjama’ah hanya tiga malam saja karena beliau khawatir di wajibkan atas umatnya. Namun setelah wafat, tidak mungkin lagi wahyu turun dan tidak mungkin diwajibkan. Oleh karena itu Umar memandang untuk kembali dilaksanakan qiyam ramadlan dengan satu imam. Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Abdurrahman bin Al Qari ia berkata:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبَدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُوْنَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ.
“Aku keluar bersama Umar bin Al Khathab radliyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadlan menuju masjid. Ternyata manusia berpencar pencar; ada yang shalat sendirian, dan ada yang berjamaah dengan beberapa orang. Umar berkata: “Aku memandang seandainya dikumpulkan kepada satu imam saja, tampaknya lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad kuat melakukannya. Di malam yang lain, aku keluar bersamanya, sementara manusia shalat berjama’ah dengan imam mereka. Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Dan waktu yang biasa mereka tidur padanya lebih baik dari yang mereka bangun padanya[6]”. Maksudnya akhir malam dan dahulu mereka melakukannya di awal malam.Perkataan Umar: “Sebaik-baiknya bid’ah”. Maksudnya adalah bid’ah secara bahasa, dan bukan bid’ah secara istilah. Karena bagaimana mungkin disebut bid’ah secara istilah sementara perbuatan itu pernah dilakukan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah meninggalkannya karena khawatir diwajibkan atas umatnya sedangkan kaidah berkata: “Suatu ibadah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, kemudian ditinggalkan oleh beliau karena khawatir diwajibkan, maka boleh melakukannya setelah Rasulullah wafat, karena alasan khawatir diwajibkan telah hilang.
Jumlah raka’at qiyamullail.
Disunnahkan tidak melebihi sebelas raka’at, karena itu yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dirinya dan yang paling utama, sebagaimana dalam hadits Aisyah radliyallahu ‘anha:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً : يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah lebih dari sebelas raka’at baik di bulan Ramadlan maupun di bulan lain, beliau sholat empat jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat jangan kamu tanya btentang bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga.” HR Bukhari dan Muslim.Namun apakah boleh melebihi sebelas raka’at? Ini menjadi perselisihan diantara para ulama; mayoritas ulama salaf dan belakangan berpendapat boleh lebih dari sebelas raka’at, bahkan Al Qadli ‘Iyadl berkata, “Tidak ada perselisihan diantara ulama bahwa shalat malam tidak ada batasannya dimana tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena shalat malam adalah termasuk ketaatan yang apabila bertambah maka bertambah pula pahalanya. Yang menjadi perselisihan adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan pilihan beliau untuk dirinya sendiri.”
Pendapat yang penulis pilih adalah pendapat mayoritas ulama yang membolehkan lebih dari sebelas raka’at, berdasarkan hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, apabila salah seorang darimu khawatir masuk shubuh, hendaklah ia shalat satu raka’at witir sebagai pengganjil shalatnya.” HR Bukhari dan Muslim.Hadits ini mutlak tidak memberikan batasan jumlah, adapun hadis Aisyah di atas tidak dapat mengkhususkan keumuman hadits ini karena beberapa alasan:
Pertama: Hadits Aisyah itu menceritakan tentang perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan perbuatan tidak bisa mengkhususkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam kitab ushul fiqih.
Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan agar shalat malam hanya sebelas raka’at saja, namun sebatas perbuatan beliau sedangkan semata-mata perbuatan hanya menghasilkan hukum sunnah.
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang melebihi sebelas raka’at, oleh karena itu Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Qiyam Ramadlan tidak ditentukan oleh Nabi jumlah tertentu, beliau hanya tidak menambah melebihi tiga belas raka’at di bulan Ramadlan maupun di bulan lainnya… siapa yang meyakini bahwa jumlah qiyam Ramadlan ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang maka ia telah salah.”[7]
[1] No 644 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah.
[2] Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib no 984.
[3] No 1690 dan Syaikh Al Bani berkata, “Hasan shahih.”
[4] No 1804.
[5] No 1996 dan pentahqiqnya yaitu Syaikh Al A’zami berkata, “Shahih.”
[6] Maksud Umar adalah bahwa shalat tarawih di awal malam lebih utama dari shalat tarawih di akhir malam. Karena di luar Ramadlan, para shahabat biasa tidur di awal malam dan bangun pada sepertiga malam. Ini menunjukkan bahwa waktu shalat tarawih yang paling utama adalah di awal malam, sebagaimana juga ditunjukkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas.
Questions, criticism, suggestions, and requests please comment below
EmoticonEmoticon